Senin, 11 Januari 2016

BIODIESEL


Biodiesel secara kimia didefenisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan atau minyak goreng bekas. Biodiesel merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari sulfur dan benzien karsinogenik.  Dapat  didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas rumah kaca, tidak toksik (toksisitasnya 10% lebih rendah dari toksisitagaram  dapur)dapat didegradasi (waktu degradasi  hampir sama dengan gula)Biodiesel dapat digunakan langsung atau dicampur dengan minyak diesel (Peeples, 1998).


Sifat fisikokimia biodiesel mirip dengan bahan bakar diesel. Bahan bakar fosil mempunyai kandungan sulfur, nitrogen dan metal yang tinggi dan dapat menyebabkan hujan asam serta efek rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung  sulfur  dan  senyawa benzena  sehingga  lebih  ramah lingkungan dan mudah terurai di alam. Kandungan energi, viskositas dan perubahan fase relatif sama dengan bahan bakar diesel yang berasal dari petroleum. Mesin dengan bahan bakar biodiesel menghasilkan partikulat, hidrokarbon dan karbon monookasida yang lebih rendah dari pada bahan bakar diesel biasa. Emisi  NOx    juga  lebih tinggi dari pada mesin diesel dengan bahan bakar diesel (Tat dkk., 2000). Kandungan panas dari berbagai minyak nabati kira-kira 90% dibandingkan dengan minyak diesel No. 2 (bahan bakar diesel untuk transportasi yang biasanya digunakan sebagai referensi untuk bahan bakar diesel dari minyak nabati). Umumnya panas pembakaran akan meningkat dengan meningkatnya panjang rantai. Daya mesin biodiesel (118.000 BTUs) hampir sama dengan daya mesin diesel (130.500 BTUs) sehingga torsi mesin dan horse power yang diperoleh relatif sama dengan   konsumsi   bahan   baka yang sama. Perbedaan cetane number biodiesel dari minyak nabati segar biasanya lebih tinggi dari minyak diesel yang dapat mempercepat waktu pembakaran seteladiinjeksikan ke dalam silinder (Tat dkk., 2000). Cetane number  dapat  diperkirakan  dengan perhitungan cetane index dengan empat variabel persamaan dari densitas dan pengukuran suhu. Cetane index digunakan karena keterbatasan sampel yang digunakan dan keterbatasan dalam pengujian bahan bakar terhadap mesin diesel (ASTM D 4737-96).

Flash point (titik nyala) tergantung pada kandungan metanol. Flash point biodiesel lebih tinggi dan tidak memproduksi asap, dapat didegradasi, dan toksisitas rendah, karena biodiesel tidak mengandung hidrokarbon aromatik jika dibandingkan dengan minyak diesel (Mittelbach, 1996).  Minyak nabati biasanya disuling pada tekanayang rendah, karena  pada tekanan atmosfir penguapan mulai terjadi pada suhu 300°C. Karena itu flash point minyak nabati lebih tinggi dari pada minyak diesel. Kehadiran pelarut dengan titik didih rendah atau aditif akan menurunkan flash point, menyebabkan penguapan dari FFA lebih besar dibandingkan dengan minyak (trigliserida). Standar mutu biodiesel telah dikeluarkan dalam bentuk SNI No. 04-7182-2006, melalui keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) Nomor 73/KEP/BSN/2/2006 tanggal 15 Maret 2006. Standar mutu biodiesel tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel II.3 Standar Mutu Biodiesel Berdasar SNI
No
Parameter
Satuan
Nilai
1
Densitas pada 40 ºC
Kg/m3
850-890
2
Viskositas pada 40 ºC
mm2/s
2,3-6,0
3
Angka setana

Min 51
4
Titik nyala (mangkok tertutup)
ºC
Min 100
5
Titik kabut
ºC
Maks 18
6
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 ºC)

Maks no. 3
7
Residu karbon
-  Dalam contoh asli
-  Dalam 10% ampas distilasi
% massa

Maks 0,05
Maks 0,3
8
Air dan sedimen
%-vol
Maks 0,05
9
Temperatur distilasi 90 ºC
ºC
Maks 360
10
Abu tersulfatkan
% massa
Maks 0,02
11
Belerang
ppm-m (mg/Kg)
Maks 100
12
Fosfor
ppm-m (mg/Kg)
Maks 10
13
Angka asam
mg-KOH/kg
Maks 0,8
14
Gliserol
% massa
Maks 0,02
15
Gliserol total
% massa
Maks 0,24
16
Kadar ester alkil
% massa
Min 96,5
17
Angka iodium
% massa
Maks 115
18
Uji halpen

Negatif
(Sumber: Soerawidjaja, 2006)

Biodiesel dipandang strategis karena dapat diproduksi dengan bahan baku produk pertanian lokal Indonesia, yaitu berbagai jenis minyak nabati, khususnya minyak non pangan, yang memiliki kualitas rendah, murah, dan belum banyak dimanfaatkan. Akan tetapi, minyak non pangan dan minyak pangan bekas umumnya memiliki kadar FFA yang tinggi. Keberadaan FFA yang tinggi dalam reaksi transesterifikasi dengan katalis basa menyebabkan  terjadinya  reaksi  samping berupa  reaksi  penyabunan  yang mengkonsumsi katalis, sehingga menurunkan yield biodiesel dan mempersulit proses pemisahan produk (Atadashi dkk., 2011).

Berdasarkan reaksi di atas sintesis biodiesel dengan metode transesterifikasi dengan katalis basa tidak dapat diterapkan pada minyak dengan kandungan asam lemak  bebas  yantinggi.  Sebagai  alternatif,  dapat  dilakukan  reaksi transesterifikasi yang didahului dengan pre-treatment untuk menurunkan kandungan FFA pada bahan baku minyak. Pre-treatment dilakukan melalui reaksi esterifikasi antara minyak dengan alkohol dengan menggunakan katalis asam (Berrios dkk., 2007). Persamaan reaksi esterifikasi antara minyak dengan alkohol dengan katalis asam dapat disajikan pada persamaan:

RCOOH       CH3OH    ↔     RCOOR’     +   H2O                                     
FFA                 alkohol               ester                  air

Reaksi ini merupakan reaksi yang sangat lambat dan dibatasi oleh keseimbangan. Untuk mengatasi keterbatasan ini, perlu digunakan katalis asam dan alkohol yang sangat berlebih untuk mencapai konversi yang tinggi. Katalis homogen yang dapat digunakan untuk reaksi ini adalah asam mineral seperti asam sulfat,  atau  asam  organik  kuat  seperti  asam  format.  Namun  karena  katalis homogen cenderung menyebabkan korosi dan kesulitan dalam pemisahan, maka penerapan katalis heterogen menarik untuk dikaji lebih lanjut. Beberapa jenis katalis heterogen yang dapat diaplikasikan pada reaksi esterifikasi adalah resin penukar ion, yang mengandung gugus asam sulfonat (Caetano dkk., 2009), zeolit, dan asam niobium   (Suwannakarn, 2009). Setelah kadar FFA turun menjadi kurang dari 2%, minyak dapat dilakukan transesterifikasi dengan katalis basa untuk membentuk biodiesel. Berikut merupakan persamaan reaksi transesterifikasi minyak dengan metanol (Mittelbach dan Remschmidt, 2004).






Metanol lebih sering digunakan dibandingkan dengan etanol dikarenakan metanol memiliki harga lebih murah dan lebih reaktif dibandingkan alkohol berantai panjang (Lang dkk., 2001). Reaksi metanolisis dengan katalis alkali dapat dilakukan  pada  suhu  kamar  dan  memberikan  yield  biodiesel  lebih  dari  80% dengan lama reaksi setelah 5 menit (Mittelbach dan Remschmidt, 2004). Metanol absolut lebih mudah didapatkan dibandingkan etanol, sehingga reaksi hidrolisis dan pembentukan sabun  yang disebabkan oleh air yang terkandung dalam alkohol dapat diminimalisasi.

Bahan baku yang biasa digunakan untuk sintesis biodiesel adalah  minyak non-pangan yang terdiri atas minyak jelantah, minyak jarak, dan minyak nyamplung. Minyak-minyak tersebut mengandung kadar FFA yang tinggi sehingga perlu diproses melalui reaksi esterifikasi dahulu untuk menurunkan kadar FFA sebelum dilakukan proses reaksi transesterifikasi, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi reaksi penyabunan yang dapat menurunkan nilai yield.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar