Biodiesel
secara kimia didefenisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari
minyak/lemak alami, seperti minyak nabati,
lemak hewan atau minyak goreng bekas. Biodiesel merupakan
bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari
sulfur dan benzien karsinogenik. Dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas rumah kaca, tidak
toksik (toksisitasnya
10% lebih rendah dari
toksisitas garam
dapur), dapat didegradasi (waktu degradasi
hampir sama dengan gula). Biodiesel dapat digunakan langsung
atau
dicampur
dengan minyak diesel
(Peeples,
1998).
Sifat fisikokimia biodiesel mirip dengan bahan bakar diesel. Bahan bakar fosil
mempunyai kandungan sulfur,
nitrogen dan
metal yang
tinggi
dan dapat menyebabkan hujan asam serta
efek
rumah kaca. Biodiesel tidak mengandung
sulfur dan
senyawa
benzena sehingga
lebih
ramah lingkungan
dan
mudah terurai di alam. Kandungan energi, viskositas dan
perubahan fase
relatif sama dengan bahan bakar diesel yang
berasal dari
petroleum. Mesin dengan bahan bakar
biodiesel menghasilkan
partikulat, hidrokarbon dan
karbon monookasida yang
lebih rendah dari pada bahan bakar
diesel biasa. Emisi NOx juga
lebih
tinggi dari pada
mesin diesel dengan
bahan
bakar diesel (Tat dkk., 2000). Kandungan panas dari berbagai minyak nabati kira-kira 90%
dibandingkan dengan minyak diesel No.
2 (bahan bakar
diesel untuk transportasi
yang biasanya digunakan sebagai referensi untuk bahan bakar diesel dari
minyak nabati).
Umumnya panas
pembakaran akan
meningkat dengan
meningkatnya panjang rantai. Daya mesin
biodiesel (118.000 BTUs)
hampir sama dengan daya mesin diesel (130.500
BTUs) sehingga torsi mesin dan horse power yang diperoleh relatif sama dengan
konsumsi bahan bakar yang sama. Perbedaan cetane
number biodiesel dari
minyak nabati segar biasanya lebih tinggi dari minyak diesel yang
dapat mempercepat waktu
pembakaran setelah diinjeksikan ke dalam silinder
(Tat dkk., 2000). Cetane
number dapat
diperkirakan dengan
perhitungan cetane index dengan
empat variabel
persamaan
dari densitas dan
pengukuran
suhu. Cetane index digunakan
karena keterbatasan
sampel
yang digunakan dan keterbatasan dalam pengujian bahan
bakar terhadap mesin diesel (ASTM D 4737-96).
Flash point (titik nyala) tergantung
pada
kandungan metanol. Flash
point biodiesel
lebih tinggi dan tidak
memproduksi asap, dapat
didegradasi, dan toksisitas rendah, karena biodiesel
tidak mengandung
hidrokarbon aromatik jika
dibandingkan dengan minyak diesel (Mittelbach,
1996). Minyak nabati biasanya
disuling pada tekanan yang rendah, karena pada tekanan atmosfir penguapan mulai terjadi pada suhu 300°C. Karena itu flash
point minyak nabati lebih
tinggi
dari pada
minyak diesel.
Kehadiran pelarut dengan
titik
didih rendah atau
aditif
akan
menurunkan flash point,
menyebabkan penguapan dari FFA lebih
besar dibandingkan dengan
minyak (trigliserida).
Standar mutu biodiesel telah
dikeluarkan dalam bentuk SNI No. 04-7182-2006, melalui keputusan Kepala Badan
Standarisasi Nasional (BSN)
Nomor 73/KEP/BSN/2/2006
tanggal 15 Maret 2006.
Standar mutu biodiesel tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel II.3 Standar Mutu Biodiesel Berdasar SNI
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Nilai
|
1
|
Densitas pada 40 ºC
|
Kg/m3
|
850-890
|
2
|
Viskositas pada 40
ºC
|
mm2/s
|
2,3-6,0
|
3
|
Angka setana
|
Min 51
|
|
4
|
Titik nyala (mangkok tertutup)
|
ºC
|
Min 100
|
5
|
Titik kabut
|
ºC
|
Maks 18
|
6
|
Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 ºC)
|
Maks no. 3
|
|
7
|
Residu karbon
- Dalam
contoh asli
- Dalam
10% ampas distilasi
|
% massa
|
Maks 0,05
Maks 0,3
|
8
|
Air dan sedimen
|
%-vol
|
Maks 0,05
|
9
|
Temperatur distilasi 90
ºC
|
ºC
|
Maks 360
|
10
|
Abu tersulfatkan
|
% massa
|
Maks 0,02
|
11
|
Belerang
|
ppm-m (mg/Kg)
|
Maks 100
|
12
|
Fosfor
|
ppm-m (mg/Kg)
|
Maks 10
|
13
|
Angka asam
|
mg-KOH/kg
|
Maks 0,8
|
14
|
Gliserol
|
% massa
|
Maks 0,02
|
15
|
Gliserol total
|
% massa
|
Maks 0,24
|
16
|
Kadar ester alkil
|
% massa
|
Min 96,5
|
17
|
Angka iodium
|
% massa
|
Maks 115
|
18
|
Uji halpen
|
Negatif
|
(Sumber: Soerawidjaja, 2006)
Biodiesel dipandang strategis karena dapat diproduksi dengan bahan baku produk
pertanian lokal Indonesia, yaitu berbagai jenis minyak nabati, khususnya minyak non pangan, yang memiliki kualitas rendah, murah, dan belum banyak dimanfaatkan.
Akan
tetapi, minyak non pangan
dan minyak
pangan bekas umumnya
memiliki kadar FFA yang tinggi. Keberadaan FFA yang
tinggi dalam reaksi transesterifikasi dengan katalis basa menyebabkan terjadinya reaksi
samping berupa
reaksi penyabunan
yang mengkonsumsi katalis, sehingga menurunkan yield
biodiesel dan mempersulit proses
pemisahan
produk (Atadashi
dkk.,
2011).
Berdasarkan reaksi di atas sintesis biodiesel dengan metode transesterifikasi dengan katalis basa
tidak dapat diterapkan pada minyak dengan kandungan asam lemak
bebas
yang tinggi.
Sebagai alternatif, dapat dilakukan
reaksi
transesterifikasi yang
didahului dengan pre-treatment untuk menurunkan kandungan FFA pada
bahan baku minyak. Pre-treatment dilakukan melalui reaksi esterifikasi antara minyak
dengan alkohol dengan
menggunakan katalis asam (Berrios dkk.,
2007). Persamaan reaksi esterifikasi antara minyak
dengan alkohol dengan
katalis
asam dapat disajikan pada
persamaan:
RCOOH
+
CH3OH ↔
RCOOR’ + H2O
FFA alkohol ester air
Reaksi ini merupakan reaksi yang
sangat
lambat
dan
dibatasi oleh keseimbangan. Untuk
mengatasi keterbatasan ini, perlu digunakan katalis
asam dan alkohol yang
sangat berlebih untuk mencapai konversi yang
tinggi. Katalis homogen yang dapat digunakan untuk reaksi ini adalah asam mineral seperti asam sulfat,
atau asam organik kuat
seperti
asam format.
Namun karena
katalis
homogen cenderung
menyebabkan korosi dan kesulitan dalam pemisahan, maka penerapan katalis heterogen menarik untuk dikaji lebih lanjut. Beberapa jenis katalis heterogen yang dapat diaplikasikan
pada
reaksi esterifikasi adalah resin
penukar ion, yang
mengandung gugus asam sulfonat (Caetano dkk., 2009), zeolit, dan asam niobium (Suwannakarn, 2009). Setelah kadar FFA turun menjadi kurang dari 2%,
minyak dapat dilakukan transesterifikasi dengan katalis basa untuk
membentuk biodiesel. Berikut merupakan persamaan reaksi
transesterifikasi minyak dengan metanol (Mittelbach dan Remschmidt, 2004).
Metanol lebih sering
digunakan dibandingkan dengan etanol dikarenakan metanol memiliki harga lebih murah dan lebih reaktif dibandingkan alkohol berantai panjang
(Lang
dkk., 2001). Reaksi metanolisis dengan katalis alkali dapat dilakukan
pada suhu kamar
dan memberikan
yield biodiesel lebih dari
80%
dengan lama reaksi setelah 5 menit (Mittelbach
dan
Remschmidt, 2004). Metanol absolut lebih mudah didapatkan dibandingkan
etanol, sehingga reaksi hidrolisis dan pembentukan sabun
yang disebabkan oleh air yang terkandung dalam alkohol dapat diminimalisasi.
Bahan baku yang biasa digunakan untuk sintesis biodiesel adalah minyak
non-pangan yang terdiri atas minyak jelantah, minyak jarak, dan minyak
nyamplung. Minyak-minyak tersebut mengandung kadar FFA yang tinggi sehingga perlu diproses melalui reaksi
esterifikasi dahulu untuk menurunkan kadar FFA sebelum dilakukan proses reaksi transesterifikasi,
hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi reaksi penyabunan yang dapat menurunkan
nilai yield.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar